Apa yang terbesit dibenak kalian ketika mendengar kata "bioteknologi hewan"? Ada yang bilang "glowing fish", ada yang bilang "domba dolly", atau yang sekarang lagi booming nih tentang penyisipan DNA babi pada embrio manusia. What do you think nih guys? Amazing kah? atau merasa memaklumi karena itu sudah menjadi bagian dari pengembangan teknologi? Apapun pendapat kalian, disini kita akan sedikit membahas tentang salah satu bioteknologi pada hewan yaitu, Inseminasi Buatan.
Sejarah Inseminasi Buatan
Sejarah Inseminasi Buatan di Indonesia
Ilustrasi Inseminasi Buatan (Cred: google) |
Inseminasi
Buatan merupakan program yang telah dikenal oleh peternak sebagai teknologi
reproduksi ternak yang efektif. Secara umum teknik IB terdiri dari dua metode yakni
metode inseminasi vaginaskop atau spekulum dan metode rectovaginal. Keberhasilan
kebuntingan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang dominan
adalah posisi deposisi semen dalam saluran reproduksi ternak betina (Selk,
2007).
Vivipar pertama yang dibuahi secara artifisial adalah seekor anjing. Eksperimen
tersebut dilakukan dengan sukses oleh seorang Italia bernama Lazzaro Spallanzani pada tahun 1780. Pelopor
penting lainnya dalam inseminasi buatan adalah seorang Rusia bernama Ilya Ivanovich Ivanov
sejak tahun 1899. Pada tahun 1935, semen domba Suffolk
yang dicairkan dikirimkan dari Cambridge dengan pesawat menuju Krakoiv,
Polandia, dan kepada gabungan peneliti internasional (Prawochenki dari
Polandia, Milovanoff dari Uni Soviet, Hammond dari Cambridge, Walton dari
Skotlandia, dan Thomasset dari Uruguay). Inseminasi buatan digunakan pada
banyak hewan, bukan manusia, seperti domba, kuda, sapi, babi, anjing, hewan-hewan bersilsilah pada umumnya,
hewan-hewan pada kebun binatang, kalkun,
dan bahkan lebah madu. AI dapat
digunakan untuk berbagai alasan, misalnya untuk memungkinkan seekor jantan
menginseminasi betina dalam jumlah yang jauh lebih banyak, untuk memungkinkan
penggunaan materi genetik dari pejantan yang terpisah oleh jarak ataupun waktu,
untuk mengatasi kesulitan pemuliaan fisik, untuk mengatur garis keayahan dari
keturunan, untuk menyinkronkan kelahiran-kelahiran, untuk menghindari cedera
yang mungkin terjadi saat perkawinan alami, dan untuk menghindari perlunya
memelihara seekor pejantan sekalipun (seperti untuk sejumlah kecil betina atau
pada spesies yang pejantan fertilnya mungkin sulit dikelola) (Hammond, 1974).
Sejarah Inseminasi Buatan
Inseminasi Buatan (IB) pada hewan
peliharaan telah lama dilakukan sejak berabad-abad yang lampau. Seorang
pangeran arab yang sedang berperang pada abad ke-14 dan dalam keadaan tersebut
kuda tunggangannya sedang mengalami birahi. Kemudian dengan akar cerdinya, sang
pangeran dengan menggunakan suatu tampon kapas, sang pangeran mencuri semen
dalam vagina seekor kuda musuhnya yang baru saja dikawinkan dengan pejantan
yang dikenal cepat larinya.Tampon tersebut kemudian dimasukan ke dalam vagina
kuda betinanya sendiri yang sedang birahi. Alhasil ternyata kuda betina
tersebut menjadi bunting dan lahirlah kuda baru yang dikenal tampan dan cepat
larinya. Inilah kisa awal tentang IB, dan setelah itu tidak lagi ditemukan catatan
mengenai pelaksanaan IB atau penelitian ke arah pengunaan teknik tersebut.
Tiga abad kemudian, barulah ada
pengamatan kembali tentang reproduksi. Tepatnya pada tahun 1677, Anthony van
Leeuwenhoek sarjana Belanda penemu mikroskop dan muridnya Johan amm merupakan
orang pertama yang melihat sel kelamin jantan dengan mikroskop buatannya
sendiri. Mereka menyebut sel kelamin jantan yang tak terhitung jumlahnya
tersebut animalcules atau animalculae yang berarti jasad renik yang mempunyai
daya gerak maju progresif. Di kemudian hari sel kelamin jantan tersebut dikenal
dengan spermatozoatozoa. Pada tahun berikutnya, 1678, seorang dokter dan
anatomi Belanda, Reijnier (Regner) de Graaf, menemukan folikel pada ovarium
kelinci.
Penelitian ilmiah pertama dalam
bidang inseminasi buatan pada hewan piaraan dialkukan oleh ahli fisiologi dan
anatomi terkenal Italia, yaitu Lazzaro Spallanzani pada tahun 1780. Dia
berhasil menginseminasi amphibia, yang kemudian memutuskan untuk melakukan
percobaan pada anjing. Anjing yang dipelihara di rumahnya setelah muncul
tanda-tanda birahi dilakukan inseminasi dengan semen yang dideposisikan
langsung ke dalam uterus dengan sebuah spuit lancip. Enam puluh hari setelah
inseminasi, induk anjing tersebut melahirkan anak tiga yang kesemuanya mirip
dengan induk dan jantan uang dipakai semennya. Dua tahun kemudian (1782)
penelitian spallanzani tersebut diulangi oleh P. Rossi dengan hasil yang
memuaskan. Semua percobaan ini membuktikan bahwa kebuntingan dapat terjadi
dengan mengunakan inseminasi dan menghasilkan keturunan normal.
Spallanzani juga membuktikan bahwa
daya membuahi semen terletak pada spermatozoatozoa, bukan pada cairan semen.
Dia membuktikannya dengan menyaring semen yang baru ditampung. Cairan yang
tertinggal diatas filter mempunyai daya fertilisasi tinggi. Peneliti yang sama
pada tahun 1803, menyumbangkan pengetahuannya mengenai pengaruh pendinginan
terhadap perpanjangan hidup spermatozoatozoa. Dia mengamati bahwa semen kuda
yang dibekukan dalam salju atau hawa dimusim dingin tidak selamanya membunuh
spermatozoatozoa tetapi mempertahankannya dalam keadaaan tidak bergerak sampai
dikenai panas dan setelah itu tetap bergerak selama tujuh setengah jam. Hasil
penemuannya mengilhami peneliti lain untuk lebih mengadakan penelitian yang mendalam
terhadap sel-sel kelamin dan fisiologi pembuahan. Dengan jasa yang
ditanamkannya kemudian masyarakat memberikan gelar kehormatan kepada dia
sebagai Bapak Inseminasi.
Perkenalan pertama IB pada peternakan
kuda di Eropa, dilakukan oleh seorang dokter hewan Perancis, Repiquet (1890).
Dia menasehatkan pemakaian teknik tersebut sebagai suatu cara untuk mengatasi
kemajiran. Hasil yang diperoleh masih kurang memuaskan, masih banyak dilakukan
penelitian untuk mengatasinya, salah satu usaha mengatasi kegagalan itu, Prof.
Hoffman dari Stuttgart, Jerman, menganjurkan agar dilakukan IB setelah
perkawinan alam. Caranya vagina kuda yang telah dikawinkan dikuakkan dan dengan
spuit diambil semennya. Semen dicampur dengan susu sapi dan kembali
diinsemiasikan pada uterus hewan tersebut. Namun diakui cara ini kurang praktis
untuk dilaksanakan.
Pada tahun 1902, Sand dan Stribold
dari Denmark, berhasil memperoleh empat konsepsi dari delapan kuda betina yang
di IB. Mereka menganjurkan IB sebagai suatu cara yang ekonomis dalam pengunaan
dan penyebaran semen dari kuda jantan yang berharga dan memajukan peternakan
pada umumnya.
Penanganan IB secara serius dilakukan
di Rusia, sebagai usaha untuk memajukan peternakan. Peneliti dan pelopor
terkemuka dalam bidang IB di Rusia adalah Elia I. Ivannoff. Tahun 1899 ia
diminta Direktur Peternakan Kuda Kerjaaan Rusia, untuk menentukan
kemungkinan-kemungkinan pemakaian IB. Dan dilah orang pertama yang berhasil
melakukan IB pada sapi dan domba.
Hasil spektakuler dan sukses terbesar
yang diperoleh adalah di Askaniya-Nova (1912) yang berhasil menghasilkan 31
konsepesi yang 39 kuda yang di IB, sedang dengan perkawinan alam hanya
diperoleh 10 konsepsi dari 23 kuda yang di IB. Tahun 1914, Geuseppe amantea
Guru Besar fisiologi manusia di Roma, banyak mengadakan penelitian tentang
spermatozoatologi, dengan hewan percobaan anjing, burung merpati dan ayam.
Kemudian dia berhasil membuat vagina buatan pertama untuk anjing. Berdasar
penemuan ini banyak peneliti lain membuat vagina buatan untuk sapi, kuda dan
domba. Tahun 1926, Roemelle membuat yang pertama kali membuat vagina buatan
untuk sapi, dan orang pertama yang membuat vagina buatan untuk domba dan
kambing adalah Fred F. Mckenzie (Amerika Serikat) pada tahun 1931. Pada tahun
1938 Prof. Enos J. Perry mendirikan koperasi IB pertama di Amerika Serikat yang
terletak di New Jersey.
Kemajuan pesat dibidang IB, sangat
dipercepat dengan adanya penemuan teknologi pembekuan semen sapi yang disposori
oleh C. Polge, A.U. Smith dan A.S. Parkes dari Inggris pada tahun 1949. Mereka
berhasil menyimpan semen untuk waktu panjang dengan membekukan sampai -79 0C
dengan mengunakan CO2 pada (dry ice) sebagai pembeku dan gliserol sebagai
pengawet. Pembekuan ini disempurnakan lagi, dengan dipergunakannya nitrogen
cair sebagai bahan pembeku, yang menghasilkan daya simpan yang lebih lama dan
lebih praktis, dengan suhu penyimpanan -169 oC.
Sejarah Inseminasi Buatan di Indonesia
Inseminasi Buatan pertama kali
diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun limapuluhan oleh Prof. B. Seit dari
Denmark di Fakultas Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Dalam rangka
rencana kesejahteraan istimewa (RKI) didirikanlah beberpa satsiun IB di
beberapa daerah di awa Tenggah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur
(Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati). Juga FKH
dan LPP Bogor, difungsikan sebagai stasiun IB untuk melayani daerah Bogor dan
sekitarnya, Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu bersifat hilang, timbul
sehingga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat.
Pada tahun 1959 dan tahun-tahun
berikutnya, perkembangan dan aplikasi IB untuk daerah Bogor dan sekitranya
dilakukan FKH IPB, masih mengikuti jejak B. Seit yaitu penggunaan semen cair
umtuk memperbaiki mutu genetik ternak sapi perah. Pada waktu itu belum
terfikirkan untuk sapi potong. Menjelang tahun 1965, keungan negara sangat
memburuk, karena situasi ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan, sehingga
kegiatan IB hampir-hampir tidak ada. Stasiun IB yang telah didirikan di enam
tempay dalam RKI, hanya Ungaran yang masih bertahan.
Di Jawa Tenggah kedua Balai
Pembenihan Ternak yang ditunjuk, melaksanakan kegiatan IB sejak tahun1953,
dengan tujuan intensifikasi onggolisasi untuk Mirit dengan semen Sumba Ongole
(SO) dan kegiatan di Ungaran bertujuan menciptakan ternak serba guna, terutama
produksi susu dengan pejantan Frisien Holstein (FH). Ternyata nasib Balai
Pembibitan Ternak kurang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, kecuali
Balai Pembibitan Ternak Ungaran, dan tahun1970 balai ini diubah namanya menjadi
Balai Inseminasi Buatan Ungaran, dengan daerah pelayanan samapi sekarang di
daerah jalur susu Semarang – Solo – Tegal.
Inseminasi buatan telah pula
digalakkan atau diperkenalkan oleh FKH IPB, di daerah Pengalengan, Bandung
Selatan, bahkan pernah pula dilakukan pameran pedet (Calf Show) pertama hasil
IB. Kemajuan tersebut disebabkan adanya sarana penunjang di daerah tersebut
yaitu 1) rakyat pemelihara sapi telah mengenal tanda-tanda berahi dengan baik,
2) rakyat telah tahu dengan pasti bahwa peningkatan mutu ternak melalui IB
merupakan jalan yang sesingkat-singkatnya menuju produksi tinggi, 3) pengiriman
semen cair dari Bogor ke Pengalengan dapat memenuhi permintaan, sehingga
perbaikan mutu genetik ternak segera dapat terlihat.
Hasil-hasil perbaikan mutu genetik
ternak di Pengalengan cukup dapat memberi harapan kepda rakyat setempat. Namun
sayangnya peningkatan produksi tidak diikuti oleh peningkatan penampungan
produksi itu sendiri. Susu sapi umumnya dikonsumsi rakyat setempat. Akibatnya produsen
susu menjadi lesu, sehingga perkembangan IB di Pangalengan sampai tahun 1970,
mengalami kemunduran akibat munculnya industri-industri susu bubuk yang
menggunakan susu bubuk impor sebagai bahan bakunya.
Kekurang berhasilan program IB antara
tahun 1960-1970, banyak disebabkan karena semen yang digunakan semen cair,
dengan masa simpan terbatas dan perlu adanya alat simpan sehingga sangat sulit
pelaksanaanya di lapangan. Disamping itu kondisi perekonomian saat itu sangat
kritis sehingga pembangunan bidang peternakan kurang dapat perhatian.
Dengan adanya program pemerintah yang
berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dimulai tahun 1969, maka bidang
peternakan pun ikut dibangun. Tersedianya dana dan fasilitas pemerintah akan
sangat menunjang peternakan di Indonesia, termasuk program IB. Pada awal tahun
1973 pemerintah measukan semen beku ke Indonesia. Dengan adanya semen beku
inilah perkembangan IB mulai maju dengan pesat, sehingga hampir menjangkau
seluruh provinsi di Indonesia.
Semen beku yang digunkan selema ini
merupakan pemberian gratis pemerintah Inggris dansSelandia Baru. Selanjutnya
pada tahun 1976 pemerintah Selandia Baru membantu mendirikan Balai Inseminasi
Buatan, dengan spesialisasi memproduksi semen beku yang terletak di daerah
Lembang Jawa Barat. Setahun kemudian didirikan pula pabrik semen beku kedua
yakni di Wonocolo Suranaya yang perkembangan berikutnya dipindahkan ke
Singosari Malang Jawa Timur.
Untuk kerbau pernah pula dilakukan
IB, yakni di daerah Serang, Banten, dengan IPB sebagai pelaksana dan Dirjen
Peternakan sebagai sponsornya (1978). Namun perkembangannya kurang memuaskan
karena dukungan sponsor yang kurang menunjang, disamping reproduksi kerbau
belum banyak diketahui. IB pada kerbau pernah juga diperkenalakan di Tanah
Toraja Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Jawa Timur.
Hasil evaluasi pelaksanaan IB di
Jawa, tahun 1972-1974, yang dilaksanakan tahun 1974, menunjukan anka konsepsi
yang dicapai selama dua tahun tersebut sangat rendah yaitu antara 21,3 – 38,92
persen. Dari survei ini disimpulkan juga bahwa titik lemah pelaksaan IB, tidak
terletak pada kualitas semen, tidak pula pada keterampilan inseminator,
melainkan sebagian besar terletak pada ketidak suburan ternak-ternak betina itu
sendiri. Ketidak suburan ini banyak disebabkan oleh kekurangan pakan, kelainan
fisiologi anatomi dan kelainan patologik alat kelamin betina serta
merajalelanya penyakit kelamin menular. Dengan adanya evaluasi terebut maka
perlu pula adanya penyemopurnaan bidang organisasi IB, perbaikan sarana, intensifikasi
dan perhatian aspek pakan, manajemen, pengendalian penyakit.
Bahan pengencer semen yang sering
digunakan terutama terdiri dari garam garam natrium dan kalium. Tetapi yang
paling penting adalah pemilihan pengencer yang terdiri dari unsur-unsur yang
secara fisiologis dimiliki oleh semen yang hendak diencerkan. Salisbury dan van
Demark (1985) menyatakan bahwa semen yang baru diejakulasikan mengandung bahan
penyangga seperti klorida, sitrat, bikarbonat, fosfat dan sulfit. Sitrat dan
bikarbonat merupakan bahan penyangga utama. Terlepas dari kemampuannya sebagai
penyangga, belumlah diketahui peran sitrat dan bikarbonat terhadap kestabilan
pH optimum. Bikarbonat merupakan penyangga yang efektif untuk menyimpan sperma
sapi pada suhu 5°C. Unsur ini memacu glikolisis sperma didalam epididymis dan
sperma yang diejakulasikan pada suhu tubuh.
Toelihere (1985a) menyatakan bahwa semen
mengandung larutan penyangga sitrat dan bikarbonat tetapi bahan-bahan penyangga
ini tidak dapat mempertahankan pH netral dalam menghadapi jumlah asam laktat
yang terbentuk dari fruktosa di dalam plasma semen sapi.Penambahan antibiotika
di dalam pengencer semen berguna menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri
atau organisme yang dapat merusak sperma, meningkatkan daya tahan hidup sperma
dan mencegah terjadinya infeksi pada saluran kelamin betina yang diinseminasi
dengan semen tersebut (Toelihere, 1985b). Selanjutnya dikatakan bahwa
penambahan 1000 unit penicillin dan 1000 mikrogram streptomisin per mililiter
pengencer tidak merusak sperma, dan efektif menghambat pertumbuhan kuman di
dalam semen yang diencerkan. Kejutan dingin tidak hanya nampak karena efek
fisiologis yang biasa diamati, tetapi juga pembocoran substansi vital dalam
semen, enzim intraselluler, dan lipoprotein dari sel. ATP dan kalsium
intraseluler serta lemak berfosfor akan menghilang dari sel sperma (Salisbury
dan van Demark, 1985).
Selanjutnya dikatakan bahwa penambahan
gliserol ke dalam bahan pengencer biasanya mengurangi bahaya yang ditimbulkan
oleh proses pembekuan. Untuk beberapa jaringan atau sel, kejutan dingin atau
masalah yang ditimbulkan karena kecepatan pendinginan rendah, nampaknya tidak
merugikan penyimpanan semen pada temperatur di bawah titik beku. Kesulitan ini
sebagian dapat diatasi dengan memakai zat-zat pelindung dalam pengencer dan
mengatur kecepatan pendinginan di atas dan di bawah titik beku secara baik
untuk mencapai jumlah sperma optimal yang masih tahan hidup. Meskipun semen
yang diencerkan dengan sitrat-kuning telur saja tidak dapat dibekukan tanpa
gliserol, semen dalam sitrat-gliserol tanpa kuning telur atau susu telah dapat
dibekukan dan dikembalikan motilitasnya dengan hasil yang cukup memuaskan
(Salisbury dan van Demark, 1985; Hafez,1993).
Pengenceran semen
Gliserol bekerja dengan memodifikasi
tipe kristal es yang terbentuk sewaktu pembekuan,sehingga kerusakan sel secara
mekanis dapat tercegah (Salisbury dan van Demark,1985). Pada bagian lain
Toelihere (1985a) mengatakan bahwa gliserol akan memasuki sel seperti halnya
fruktosa dan mungkin akan digunakan oleh sel untuk aktivitas metabolisme.
Reaksi tertentu menunjukkan bahwa gliserol dapat masuk ke dalam sel menggantikan
air bebas dan mendesak keluarnya elektrolit intraseluler sampai titik
konsentrasi tidak berbahaya lagi selama pembekuan. Selanjutnya dikatakan bahwa
gliserol biasanya ditambahkan ke dalam air mani yang diencerkan terlebih dahulu
dengan dasar volume pengencer yang yang sama yang mengandung dua kali jumlah
volume gliserol yang diperlukan pada campuran akhir. Beberapa hasil penelitan
menyatakan bahwa penambahan gliserol harus dilakukan dengan perlahan-lahan,
setetes demi setetes secara teratur dan diaduk secara halus (Hafez, 1993). Hal
ini dimaksudkan agar pengencer yang mengandung gliserol yang ditambahkan pada
semen yang telah diencerkan mempunyai temperatur yang sama yaitu 4 sampai 5°C.
Gliserol yang digunakan secara umum untuk kriopreservasi semen jumlahnya
tergantung pada bahan pengencer, metode pembekuan dan jenis ternak, namun pada
umumnya berkisar antara 5% sampai 10% (Hafez, 1993). Selanjutnya dikatakan
bahwa gliserol harus ditambahkan ke dalam bahan pengencer beberapa jam sebelum
pengenceran semen. Pencampuran semen dengan bahan pengencer yang bergliserol
harus dilakukan pada suhu 5°C.
Toelihere, dkk. (1995), mengemukakan
bahwa metode pembekuan dua tahap dilakukan dengan membagi volume setiap bahan
pengencer menjadi dua bagian, misalnya pengencer A dibagi menjadi A1 dan A2.
Semen diencerkan terlebih dahulu dengan pengencer A1 yang tak bergliserol
kemudian disimpan selama 1 - 2 jam, kemudian dicampurkan lagi dengan bagian
pengencer A2 pada temperatur 3-5°C untuk selanjutnya diequilibrasi selama 4 jam
pada temperatur lemari es (0-5°C). Sedangkan pada metode pembekuan satu tahap
semen secara langsung dicampur ke dalam pengencer yang bergliserol kemudian
diequilibrasi selama 4 jam.
Kecepatan pendinginan optimal selama
pembekuan bertujuan untuk mempertahankan kualitas dan kesuburan semen beku
selama penyimpanan. Penyesuaian semen dengan pengencer yang bergliserol pada
temperatur lemari es membutuhkan waktu 0,5 jam untuk pengencer sitrat-kuning
telur atau susu skimkuningtelur (Salisbury dan van Demark, 1985), sedangkan
pada penelitian lain menyarankan bahwa daya tahan hidup sperma lebih tinggi
jika periode penyesuaian/equilibrasi berlangsung lebih lama 4 - 28 jam.
Toelihere, dkk, (1995) melakukan equilibrasi selama 3 - 4 jam pada temperatur 0
- 5°C. Pengenceran semen dengan bahan pengencer merupakan langkah terbaik dalam
menjamin kebutuhan fisik dan kimia, selain itu harus disimpan pada suhu dan
kondisi tertentu yang dapat mempertahankan kehidupan sperma selama waktu tertentu
sebelum digunakan untuk IB (Toelihere, 1985b).
DAFTAR PUSTAKA
Salisbury, G.W. dan N.L. van Demark,
1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi
Buatan pada Sapi. Diterjemahkan oleh
Djanuar. Gajah Mada University Press,
Jogyakarta.
Tardif, A.L., P.B. Farrell, V.
Trouern-Trend, M.E. Simkin, and R.H. Foote. 1998. Use
of Hoechst 33342 stain to evaluate life
fresh and frozen bull sperm by computerassisted
analysis. J. Androl. 19:201-206.
Toelihere, M.R. 1985a. Fisiologi
Reproduksi pada Temak. Angkasa, Bandung.
Toelihere, MR. 1985b. Inseminasi Buatan
pada Ternak. Angkasa, Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar