Rabu, 11 Oktober 2017

Bioteknologi Hewan : Inseminasi Buatan

Apa yang terbesit dibenak kalian ketika mendengar kata "bioteknologi hewan"? Ada yang bilang "glowing fish", ada yang bilang "domba dolly", atau yang sekarang lagi booming nih tentang penyisipan DNA babi pada embrio manusia. What do you think nih guys? Amazing kah? atau merasa memaklumi karena itu sudah menjadi bagian dari pengembangan teknologi? Apapun pendapat kalian, disini kita akan sedikit membahas tentang salah satu bioteknologi pada hewan yaitu, Inseminasi Buatan.
Ilustrasi Inseminasi Buatan (Cred: google)


Inseminasi Buatan merupakan program yang telah dikenal oleh peternak sebagai teknologi reproduksi ternak yang efektif. Secara umum teknik IB terdiri dari dua metode yakni metode inseminasi vaginaskop atau spekulum dan metode rectovaginal. Keberhasilan kebuntingan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang dominan adalah posisi deposisi semen dalam saluran reproduksi ternak betina (Selk, 2007).
Vivipar pertama yang dibuahi secara artifisial adalah seekor anjing. Eksperimen tersebut dilakukan dengan sukses oleh seorang Italia bernama Lazzaro Spallanzani pada tahun 1780. Pelopor penting lainnya dalam inseminasi buatan adalah seorang Rusia bernama Ilya Ivanovich Ivanov sejak tahun 1899. Pada tahun 1935, semen domba Suffolk yang dicairkan dikirimkan dari Cambridge dengan pesawat menuju Krakoiv, Polandia, dan kepada gabungan peneliti internasional (Prawochenki dari Polandia, Milovanoff dari Uni Soviet, Hammond dari Cambridge, Walton dari Skotlandia, dan Thomasset dari Uruguay). Inseminasi buatan digunakan pada banyak hewan, bukan manusia, seperti domba, kuda, sapi, babi, anjing, hewan-hewan bersilsilah pada umumnya, hewan-hewan pada kebun binatang, kalkun, dan bahkan lebah madu. AI dapat digunakan untuk berbagai alasan, misalnya untuk memungkinkan seekor jantan menginseminasi betina dalam jumlah yang jauh lebih banyak, untuk memungkinkan penggunaan materi genetik dari pejantan yang terpisah oleh jarak ataupun waktu, untuk mengatasi kesulitan pemuliaan fisik, untuk mengatur garis keayahan dari keturunan, untuk menyinkronkan kelahiran-kelahiran, untuk menghindari cedera yang mungkin terjadi saat perkawinan alami, dan untuk menghindari perlunya memelihara seekor pejantan sekalipun (seperti untuk sejumlah kecil betina atau pada spesies yang pejantan fertilnya mungkin sulit dikelola) (Hammond, 1974).


Sejarah Inseminasi Buatan


Inseminasi Buatan (IB) pada hewan peliharaan telah lama dilakukan sejak berabad-abad yang lampau. Seorang pangeran arab yang sedang berperang pada abad ke-14 dan dalam keadaan tersebut kuda tunggangannya sedang mengalami birahi. Kemudian dengan akar cerdinya, sang pangeran dengan menggunakan suatu tampon kapas, sang pangeran mencuri semen dalam vagina seekor kuda musuhnya yang baru saja dikawinkan dengan pejantan yang dikenal cepat larinya.Tampon tersebut kemudian dimasukan ke dalam vagina kuda betinanya sendiri yang sedang birahi. Alhasil ternyata kuda betina tersebut menjadi bunting dan lahirlah kuda baru yang dikenal tampan dan cepat larinya. Inilah kisa awal tentang IB, dan setelah itu tidak lagi ditemukan catatan mengenai pelaksanaan IB atau penelitian ke arah pengunaan teknik tersebut.
Tiga abad kemudian, barulah ada pengamatan kembali tentang reproduksi. Tepatnya pada tahun 1677, Anthony van Leeuwenhoek sarjana Belanda penemu mikroskop dan muridnya Johan amm merupakan orang pertama yang melihat sel kelamin jantan dengan mikroskop buatannya sendiri. Mereka menyebut sel kelamin jantan yang tak terhitung jumlahnya tersebut animalcules atau animalculae yang berarti jasad renik yang mempunyai daya gerak maju progresif. Di kemudian hari sel kelamin jantan tersebut dikenal dengan spermatozoatozoa. Pada tahun berikutnya, 1678, seorang dokter dan anatomi Belanda, Reijnier (Regner) de Graaf, menemukan folikel pada ovarium kelinci.
Penelitian ilmiah pertama dalam bidang inseminasi buatan pada hewan piaraan dialkukan oleh ahli fisiologi dan anatomi terkenal Italia, yaitu Lazzaro Spallanzani pada tahun 1780. Dia berhasil menginseminasi amphibia, yang kemudian memutuskan untuk melakukan percobaan pada anjing. Anjing yang dipelihara di rumahnya setelah muncul tanda-tanda birahi dilakukan inseminasi dengan semen yang dideposisikan langsung ke dalam uterus dengan sebuah spuit lancip. Enam puluh hari setelah inseminasi, induk anjing tersebut melahirkan anak tiga yang kesemuanya mirip dengan induk dan jantan uang dipakai semennya. Dua tahun kemudian (1782) penelitian spallanzani tersebut diulangi oleh P. Rossi dengan hasil yang memuaskan. Semua percobaan ini membuktikan bahwa kebuntingan dapat terjadi dengan mengunakan inseminasi dan menghasilkan keturunan normal.
Spallanzani juga membuktikan bahwa daya membuahi semen terletak pada spermatozoatozoa, bukan pada cairan semen. Dia membuktikannya dengan menyaring semen yang baru ditampung. Cairan yang tertinggal diatas filter mempunyai daya fertilisasi tinggi. Peneliti yang sama pada tahun 1803, menyumbangkan pengetahuannya mengenai pengaruh pendinginan terhadap perpanjangan hidup spermatozoatozoa. Dia mengamati bahwa semen kuda yang dibekukan dalam salju atau hawa dimusim dingin tidak selamanya membunuh spermatozoatozoa tetapi mempertahankannya dalam keadaaan tidak bergerak sampai dikenai panas dan setelah itu tetap bergerak selama tujuh setengah jam. Hasil penemuannya mengilhami peneliti lain untuk lebih mengadakan penelitian yang mendalam terhadap sel-sel kelamin dan fisiologi pembuahan. Dengan jasa yang ditanamkannya kemudian masyarakat memberikan gelar kehormatan kepada dia sebagai Bapak Inseminasi.
Perkenalan pertama IB pada peternakan kuda di Eropa, dilakukan oleh seorang dokter hewan Perancis, Repiquet (1890). Dia menasehatkan pemakaian teknik tersebut sebagai suatu cara untuk mengatasi kemajiran. Hasil yang diperoleh masih kurang memuaskan, masih banyak dilakukan penelitian untuk mengatasinya, salah satu usaha mengatasi kegagalan itu, Prof. Hoffman dari Stuttgart, Jerman, menganjurkan agar dilakukan IB setelah perkawinan alam. Caranya vagina kuda yang telah dikawinkan dikuakkan dan dengan spuit diambil semennya. Semen dicampur dengan susu sapi dan kembali diinsemiasikan pada uterus hewan tersebut. Namun diakui cara ini kurang praktis untuk dilaksanakan.
Pada tahun 1902, Sand dan Stribold dari Denmark, berhasil memperoleh empat konsepsi dari delapan kuda betina yang di IB. Mereka menganjurkan IB sebagai suatu cara yang ekonomis dalam pengunaan dan penyebaran semen dari kuda jantan yang berharga dan memajukan peternakan pada umumnya.
Penanganan IB secara serius dilakukan di Rusia, sebagai usaha untuk memajukan peternakan. Peneliti dan pelopor terkemuka dalam bidang IB di Rusia adalah Elia I. Ivannoff. Tahun 1899 ia diminta Direktur Peternakan Kuda Kerjaaan Rusia, untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan pemakaian IB. Dan dilah orang pertama yang berhasil melakukan IB pada sapi dan domba.
Hasil spektakuler dan sukses terbesar yang diperoleh adalah di Askaniya-Nova (1912) yang berhasil menghasilkan 31 konsepesi yang 39 kuda yang di IB, sedang dengan perkawinan alam hanya diperoleh 10 konsepsi dari 23 kuda yang di IB. Tahun 1914, Geuseppe amantea Guru Besar fisiologi manusia di Roma, banyak mengadakan penelitian tentang spermatozoatologi, dengan hewan percobaan anjing, burung merpati dan ayam. Kemudian dia berhasil membuat vagina buatan pertama untuk anjing. Berdasar penemuan ini banyak peneliti lain membuat vagina buatan untuk sapi, kuda dan domba. Tahun 1926, Roemelle membuat yang pertama kali membuat vagina buatan untuk sapi, dan orang pertama yang membuat vagina buatan untuk domba dan kambing adalah Fred F. Mckenzie (Amerika Serikat) pada tahun 1931. Pada tahun 1938 Prof. Enos J. Perry mendirikan koperasi IB pertama di Amerika Serikat yang terletak di New Jersey.
Kemajuan pesat dibidang IB, sangat dipercepat dengan adanya penemuan teknologi pembekuan semen sapi yang disposori oleh C. Polge, A.U. Smith dan A.S. Parkes dari Inggris pada tahun 1949. Mereka berhasil menyimpan semen untuk waktu panjang dengan membekukan sampai -79 0C dengan mengunakan CO2 pada (dry ice) sebagai pembeku dan gliserol sebagai pengawet. Pembekuan ini disempurnakan lagi, dengan dipergunakannya nitrogen cair sebagai bahan pembeku, yang menghasilkan daya simpan yang lebih lama dan lebih praktis, dengan suhu penyimpanan -169 oC.
  
Sejarah Inseminasi Buatan di Indonesia

Inseminasi Buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun limapuluhan oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Dalam rangka rencana kesejahteraan istimewa (RKI) didirikanlah beberpa satsiun IB di beberapa daerah di awa Tenggah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati). Juga FKH dan LPP Bogor, difungsikan sebagai stasiun IB untuk melayani daerah Bogor dan sekitarnya, Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu bersifat hilang, timbul sehingga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat.
Pada tahun 1959 dan tahun-tahun berikutnya, perkembangan dan aplikasi IB untuk daerah Bogor dan sekitranya dilakukan FKH IPB, masih mengikuti jejak B. Seit yaitu penggunaan semen cair umtuk memperbaiki mutu genetik ternak sapi perah. Pada waktu itu belum terfikirkan untuk sapi potong. Menjelang tahun 1965, keungan negara sangat memburuk, karena situasi ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan, sehingga kegiatan IB hampir-hampir tidak ada. Stasiun IB yang telah didirikan di enam tempay dalam RKI, hanya Ungaran yang masih bertahan.
Di Jawa Tenggah kedua Balai Pembenihan Ternak yang ditunjuk, melaksanakan kegiatan IB sejak tahun1953, dengan tujuan intensifikasi onggolisasi untuk Mirit dengan semen Sumba Ongole (SO) dan kegiatan di Ungaran bertujuan menciptakan ternak serba guna, terutama produksi susu dengan pejantan Frisien Holstein (FH). Ternyata nasib Balai Pembibitan Ternak kurang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, kecuali Balai Pembibitan Ternak Ungaran, dan tahun1970 balai ini diubah namanya menjadi Balai Inseminasi Buatan Ungaran, dengan daerah pelayanan samapi sekarang di daerah jalur susu Semarang – Solo – Tegal.
Inseminasi buatan telah pula digalakkan atau diperkenalkan oleh FKH IPB, di daerah Pengalengan, Bandung Selatan, bahkan pernah pula dilakukan pameran pedet (Calf Show) pertama hasil IB. Kemajuan tersebut disebabkan adanya sarana penunjang di daerah tersebut yaitu 1) rakyat pemelihara sapi telah mengenal tanda-tanda berahi dengan baik, 2) rakyat telah tahu dengan pasti bahwa peningkatan mutu ternak melalui IB merupakan jalan yang sesingkat-singkatnya menuju produksi tinggi, 3) pengiriman semen cair dari Bogor ke Pengalengan dapat memenuhi permintaan, sehingga perbaikan mutu genetik ternak segera dapat terlihat.
Hasil-hasil perbaikan mutu genetik ternak di Pengalengan cukup dapat memberi harapan kepda rakyat setempat. Namun sayangnya peningkatan produksi tidak diikuti oleh peningkatan penampungan produksi itu sendiri. Susu sapi umumnya dikonsumsi rakyat setempat. Akibatnya produsen susu menjadi lesu, sehingga perkembangan IB di Pangalengan sampai tahun 1970, mengalami kemunduran akibat munculnya industri-industri susu bubuk yang menggunakan susu bubuk impor sebagai bahan bakunya.
Kekurang berhasilan program IB antara tahun 1960-1970, banyak disebabkan karena semen yang digunakan semen cair, dengan masa simpan terbatas dan perlu adanya alat simpan sehingga sangat sulit pelaksanaanya di lapangan. Disamping itu kondisi perekonomian saat itu sangat kritis sehingga pembangunan bidang peternakan kurang dapat perhatian.
Dengan adanya program pemerintah yang berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dimulai tahun 1969, maka bidang peternakan pun ikut dibangun. Tersedianya dana dan fasilitas pemerintah akan sangat menunjang peternakan di Indonesia, termasuk program IB. Pada awal tahun 1973 pemerintah measukan semen beku ke Indonesia. Dengan adanya semen beku inilah perkembangan IB mulai maju dengan pesat, sehingga hampir menjangkau seluruh provinsi di Indonesia.
Semen beku yang digunkan selema ini merupakan pemberian gratis pemerintah Inggris dansSelandia Baru. Selanjutnya pada tahun 1976 pemerintah Selandia Baru membantu mendirikan Balai Inseminasi Buatan, dengan spesialisasi memproduksi semen beku yang terletak di daerah Lembang Jawa Barat. Setahun kemudian didirikan pula pabrik semen beku kedua yakni di Wonocolo Suranaya yang perkembangan berikutnya dipindahkan ke Singosari Malang Jawa Timur.
Untuk kerbau pernah pula dilakukan IB, yakni di daerah Serang, Banten, dengan IPB sebagai pelaksana dan Dirjen Peternakan sebagai sponsornya (1978). Namun perkembangannya kurang memuaskan karena dukungan sponsor yang kurang menunjang, disamping reproduksi kerbau belum banyak diketahui. IB pada kerbau pernah juga diperkenalakan di Tanah Toraja Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Jawa Timur.
Hasil evaluasi pelaksanaan IB di Jawa, tahun 1972-1974, yang dilaksanakan tahun 1974, menunjukan anka konsepsi yang dicapai selama dua tahun tersebut sangat rendah yaitu antara 21,3 – 38,92 persen. Dari survei ini disimpulkan juga bahwa titik lemah pelaksaan IB, tidak terletak pada kualitas semen, tidak pula pada keterampilan inseminator, melainkan sebagian besar terletak pada ketidak suburan ternak-ternak betina itu sendiri. Ketidak suburan ini banyak disebabkan oleh kekurangan pakan, kelainan fisiologi anatomi dan kelainan patologik alat kelamin betina serta merajalelanya penyakit kelamin menular. Dengan adanya evaluasi terebut maka perlu pula adanya penyemopurnaan bidang organisasi IB, perbaikan sarana, intensifikasi dan perhatian aspek pakan, manajemen, pengendalian penyakit.


Bahan pengencer semen yang sering digunakan terutama terdiri dari garam garam natrium dan kalium. Tetapi yang paling penting adalah pemilihan pengencer yang terdiri dari unsur-unsur yang secara fisiologis dimiliki oleh semen yang hendak diencerkan. Salisbury dan van Demark (1985) menyatakan bahwa semen yang baru diejakulasikan mengandung bahan penyangga seperti klorida, sitrat, bikarbonat, fosfat dan sulfit. Sitrat dan bikarbonat merupakan bahan penyangga utama. Terlepas dari kemampuannya sebagai penyangga, belumlah diketahui peran sitrat dan bikarbonat terhadap kestabilan pH optimum. Bikarbonat merupakan penyangga yang efektif untuk menyimpan sperma sapi pada suhu 5°C. Unsur ini memacu glikolisis sperma didalam epididymis dan sperma yang diejakulasikan pada suhu tubuh.

Toelihere (1985a) menyatakan bahwa semen mengandung larutan penyangga sitrat dan bikarbonat tetapi bahan-bahan penyangga ini tidak dapat mempertahankan pH netral dalam menghadapi jumlah asam laktat yang terbentuk dari fruktosa di dalam plasma semen sapi.Penambahan antibiotika di dalam pengencer semen berguna menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri atau organisme yang dapat merusak sperma, meningkatkan daya tahan hidup sperma dan mencegah terjadinya infeksi pada saluran kelamin betina yang diinseminasi dengan semen tersebut (Toelihere, 1985b). Selanjutnya dikatakan bahwa penambahan 1000 unit penicillin dan 1000 mikrogram streptomisin per mililiter pengencer tidak merusak sperma, dan efektif menghambat pertumbuhan kuman di dalam semen yang diencerkan. Kejutan dingin tidak hanya nampak karena efek fisiologis yang biasa diamati, tetapi juga pembocoran substansi vital dalam semen, enzim intraselluler, dan lipoprotein dari sel. ATP dan kalsium intraseluler serta lemak berfosfor akan menghilang dari sel sperma (Salisbury dan van Demark, 1985).

Selanjutnya dikatakan bahwa penambahan gliserol ke dalam bahan pengencer biasanya mengurangi bahaya yang ditimbulkan oleh proses pembekuan. Untuk beberapa jaringan atau sel, kejutan dingin atau masalah yang ditimbulkan karena kecepatan pendinginan rendah, nampaknya tidak merugikan penyimpanan semen pada temperatur di bawah titik beku. Kesulitan ini sebagian dapat diatasi dengan memakai zat-zat pelindung dalam pengencer dan mengatur kecepatan pendinginan di atas dan di bawah titik beku secara baik untuk mencapai jumlah sperma optimal yang masih tahan hidup. Meskipun semen yang diencerkan dengan sitrat-kuning telur saja tidak dapat dibekukan tanpa gliserol, semen dalam sitrat-gliserol tanpa kuning telur atau susu telah dapat dibekukan dan dikembalikan motilitasnya dengan hasil yang cukup memuaskan (Salisbury dan van Demark, 1985; Hafez,1993).
 Pengenceran semen
Gliserol bekerja dengan memodifikasi tipe kristal es yang terbentuk sewaktu pembekuan,sehingga kerusakan sel secara mekanis dapat tercegah (Salisbury dan van Demark,1985). Pada bagian lain Toelihere (1985a) mengatakan bahwa gliserol akan memasuki sel seperti halnya fruktosa dan mungkin akan digunakan oleh sel untuk aktivitas metabolisme. Reaksi tertentu menunjukkan bahwa gliserol dapat masuk ke dalam sel menggantikan air bebas dan mendesak keluarnya elektrolit intraseluler sampai titik konsentrasi tidak berbahaya lagi selama pembekuan. Selanjutnya dikatakan bahwa gliserol biasanya ditambahkan ke dalam air mani yang diencerkan terlebih dahulu dengan dasar volume pengencer yang yang sama yang mengandung dua kali jumlah volume gliserol yang diperlukan pada campuran akhir. Beberapa hasil penelitan menyatakan bahwa penambahan gliserol harus dilakukan dengan perlahan-lahan, setetes demi setetes secara teratur dan diaduk secara halus (Hafez, 1993). Hal ini dimaksudkan agar pengencer yang mengandung gliserol yang ditambahkan pada semen yang telah diencerkan mempunyai temperatur yang sama yaitu 4 sampai 5°C. Gliserol yang digunakan secara umum untuk kriopreservasi semen jumlahnya tergantung pada bahan pengencer, metode pembekuan dan jenis ternak, namun pada umumnya berkisar antara 5% sampai 10% (Hafez, 1993). Selanjutnya dikatakan bahwa gliserol harus ditambahkan ke dalam bahan pengencer beberapa jam sebelum pengenceran semen. Pencampuran semen dengan bahan pengencer yang bergliserol harus dilakukan pada suhu 5°C.

Toelihere, dkk. (1995), mengemukakan bahwa metode pembekuan dua tahap dilakukan dengan membagi volume setiap bahan pengencer menjadi dua bagian, misalnya pengencer A dibagi menjadi A1 dan A2. Semen diencerkan terlebih dahulu dengan pengencer A1 yang tak bergliserol kemudian disimpan selama 1 - 2 jam, kemudian dicampurkan lagi dengan bagian pengencer A2 pada temperatur 3-5°C untuk selanjutnya diequilibrasi selama 4 jam pada temperatur lemari es (0-5°C). Sedangkan pada metode pembekuan satu tahap semen secara langsung dicampur ke dalam pengencer yang bergliserol kemudian diequilibrasi selama 4 jam.

Kecepatan pendinginan optimal selama pembekuan bertujuan untuk mempertahankan kualitas dan kesuburan semen beku selama penyimpanan. Penyesuaian semen dengan pengencer yang bergliserol pada temperatur lemari es membutuhkan waktu 0,5 jam untuk pengencer sitrat-kuning telur atau susu skimkuningtelur (Salisbury dan van Demark, 1985), sedangkan pada penelitian lain menyarankan bahwa daya tahan hidup sperma lebih tinggi jika periode penyesuaian/equilibrasi berlangsung lebih lama 4 - 28 jam. Toelihere, dkk, (1995) melakukan equilibrasi selama 3 - 4 jam pada temperatur 0 - 5°C. Pengenceran semen dengan bahan pengencer merupakan langkah terbaik dalam menjamin kebutuhan fisik dan kimia, selain itu harus disimpan pada suhu dan kondisi tertentu yang dapat mempertahankan kehidupan sperma selama waktu tertentu sebelum digunakan untuk IB (Toelihere, 1985b).


DAFTAR PUSTAKA
Salisbury, G.W. dan N.L. van Demark, 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi
Buatan pada Sapi. Diterjemahkan oleh Djanuar. Gajah Mada University Press,
Jogyakarta.
Tardif, A.L., P.B. Farrell, V. Trouern-Trend, M.E. Simkin, and R.H. Foote. 1998. Use
of Hoechst 33342 stain to evaluate life fresh and frozen bull sperm by computerassisted
analysis. J. Androl. 19:201-206.
Toelihere, M.R. 1985a. Fisiologi Reproduksi pada Temak. Angkasa, Bandung.
Toelihere, MR. 1985b. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar